“Orang bilang hidup itu hanya tentang hitam dan putih, tapi tidak bagiku. Kita semua adalah warna. Setiap orang unik, punya warna tersendiri dalam kehidupannya. Aku, kamu, kita semua adalah warna. Warna indah yang menyatu membentuk sebuah pelangi kehidupan”. (Suryani)
Bertemu pelangi
Saat saya mengikuti acara Word Book Day yang diselenggarakan oleh Komunitas Rumah Dunia, juga launching buku. Saya mendapat sepaket buku simbolis untuk Daerah Bekasi dari Kantor Bahasa Banten. Saya belum tahu kemana saya harus menyerahkan paket amanah itu. Tiba-tiba saja di akhir acara saya bertemu teman yang juga dari Bekasi. Kami dikenalkan oleh pak Gong, namanya Kang Idin Bagen dari Rumah Pelangi Bekasi.
Saya masih ingat ketika Pak Gong mengatakan “Kang Idin punya tempat tapi tidak punya buku, sedangkan Suryani punya buku tapi gak punya tempat. Sudah kalian kolaborasi saja memajukan dunia literasi di Bekasi”.
Di sini saya melihat betapa semuanya harus seimbang, harus selaras, harus terikat dan terkait.
“Jika seseorang memiliki keahlian namun dia tidak memiliki tempat, maka musnahlah semua keilmuannya, dan jika seseorang memiliki tempat namun tidak memiliki keahlian, maka seiring berjalannya waktu akan habis dimakan usia”. (Suryani)
Mendengar nama Rumah Pelangi, saya mendengar panggilan cinta yang besar untuk mengabdi disana. Saya melihat sebuah harapan untuk kota yang saya tinggali yaitu Bekasi. Harapan baru dan segar untuk kebangkitan Dunia literasi di Bekasi. Saya coba menelusurinya melalui google saya baca web pelangibekasi.com, saya amati gambar yang ada di dalamnya dan saya menemukan generasi baru. Bibit unggul untuk melanjutkan cita-cita dan harapan bangsa. Jujur saja saya semakin antusias, meskipun saya belum tahu apa yang bisa saya berikan untuk mereka semua. Sudah banyak ide bersliweran di kepala tinggal menunggu untuk dikembangkan.
Tepat tanggl 1 mei 2017, saya bersama Vincent Mark anggota dari Permadusi mengunjungi Rumah Pelangi Bekasi. Jarak yang cukup lumayan dari tempat saya tinggal. Pagi itu hujan, tapi semua itu tidak melunturkan semangat kami untuk datang silaturahmi dan menyerahkan paket simbolis dari Kantor Bahasa Banten juga beberapa buku Stop Bullying untuk Rumah Pelangi.
Vincent datang menjemputku pukul 10.00 wib, kami berjalan melewati Summarecon dan menyusuri jalan ke arah Bbabelan. Jalanan yang sangat macet, penuh polusi, juga banyak jalan yang hancur. Kami mencoba menggunakan GPS sebagai penunjuk jalan ke Rumah Pelangi Bekasi. Ternyata masih sangat jauh sekali. Saya meledek Vvincent “Cent kok perasaan jalannya gak habis-habis yaa, untung banyak sawah Cent jadi berasa jalan-jalan yaa”. Vincent menjawab dengan tertawa. Kami sangat menikmati perjalanan kami, kami menyukai sawah, suasana desa dan mengamati orang yang lalu lalang di jalan.
Sudah tiba waktunya shalat dzuhur, kami pun segera menepi tidak ada kompromi jika mendengar panggilan cinta. Kebetulan ada masjid entah itu dimana, kami menunaikan shalat dzuhur dulu. Setelah selesai, terasa sekali power kami semakin meningkat, rasanya segar dan semua letih hilang. Kami kembali melanjutkan perjalanan, wah ternyata kok semakin jauh... hahaa rupanya Om Cent nyasar.
Hmm Gps membawa kami ke arah yang salah menuju pantai. Sinyal yang buruk menjadi kendala untuk kami. Menghubungi Kkang Idin Bagen pun sangat sulit. Sekalinya tersambung suara tidak jelas karena gangguan sinyal. Akhirnya saya bilang “Sudah lah Cent matikan aja GPS-nya, makin sesat kita”. Hahahaa..
Vincent kebingungan karena dia harus mengejar waktu, bagaimana coba jam 2 sudah harus sampai ditempat adiknya?. Vincent mendapat tugas dari orang tuanya untuk menjemput adiknya. Kami pun berhenti sejenak, takut juga karena jalanannya semakin seram sepi sekali. Mau nanya orang, Vincent khawatir takut terjadi sesuatu dengan kami. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan, Vincent putar balik, sudah jalan cukup jauh dia berhenti kembali menyalakan GPS dan ternyata tidak bisa. Heheee
Penyerahan sepaket buku simbolis untuk Rumah Pelangi dari Kantor Bahasa Banten |
Kami melihat di ujung jalan ada sebuah warung kecil. Di sana ada 2 orang bapak dan seorang ibu. Saya turun dari motor saya bertanya kepada bapak tua yang sedang asik menghisap rokok.
“Permisi pak, numpang tanya, bapak tahu Rumah Pelangi. Rumah Pelangi di mana ya pak?
Bapak itu pun menjawab “Ya tahu”, kemudian beliau menunjukkan ke arah sungai kecil. Kita diminta turun ke bawah, dan betapa terkejutnya saya, ternyata kita harus menyeberang sungai. Dan yang lebih-lebih membuat saya terkejut yang membantu kami menyeberang sungai kecil itu adalah seorang ibu.
Dengan kebesaran hatinya, dengan tenaga yang dikeluarkan membantu para pengendara motor menyeberang, itu berat sekali, saat itu ada 3 motor dan 2 sepeda ontel. Saya bingung kok orang yang lalu lalang tidak membayar ibu itu. Ibu itu pun tidak menagih pada kami. Saya pun mengaba-aba Vincent untuk berhenti kita buat video dokumenter. Tadinya mau live di FB bahwa kehidupan seperti ini nyata. Tapi karena gangguan sinyal tidak bisa.
Rasanya hati saya terombang ambing gak karuan, apakah benar yang saya lihat ini. Dimana pemuda kampung ini?. Sekali lagi saya tidak berhak untuk menilai, karena saya baru tahu dan lihat dengan mata kepala saya sendiri. Tak terasa air mata saya terus menetes. Saya beranikan diri untuk mengajak ngobrol ibu itu. Dan bertanya padanya. Lagi-lagi soal kesadaran, ini tamparan banget buat kita semua. Setelah hampir sampai saya ucapkan terima kasih banyak kepada ibu yang membantu kami menyeberang. Beliau juga menunjukkan arah ke Rumah Pelangi, katanya sebentar lagi sampai. Sumpah, saya kaget semua orang yang lalu lalang dibantu menyeberang oleh ibu itu cuek banget, mereka tidak mengucapkan kalimat terima kasih, juga tidak memberikan uang atas jerih payah ibu membantu 3 motor dan 2 sepeda yang menyeberang, menarik sampan besar bermuatan berat dengan tenaga manual.
Subhanallah...
Saya gak mampu mengungkapkan semua rasa yang saya alami, perjalanan ke Rumah Pelangi bagaikan perjalanan spiritual.
Akhirnya kami pun tiba di tengah sawah dan bahagianya bisa sampai di Rumah Pelangi. Begitu sampai saya pun dikejutkan dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Tapi mereka sungguh luar biasa, mampu memberdayakan bangunan kosong yang tidak terpakai. Bangunan yang diberdayakan sebagai naungan bagi anak-anak yang ingin tumbuh dan berkembang bersama Rumah Pelangi.
Sambutan mereka sangat hangat pada kami, Rumah Pelangi dan anak-anak di sana telah terpatri di hati ini. Saya bertemu dengan anak-anak pelangi yang super keren. Mereka semangat berkarya, apa pun mereka mau mempelajarinya. Anak-anak pelangi ini dibimbing oleh para sukarelawan tanpa syarat. Rumah Pelangi membimbing mereka dengan pendidikan karakter, pendidikan utama yang sudah dibaikan hampir di semua sekolah.
Saya melihat ada api yang membara dalam semangat para sukarelawan untuk memajukan bangsa ini, mewujudkan dan melanjutkan cita-cita luhur negeri ini. Mereka membimbing anak-anak tanpa pamrih, tanpa berharap imbalan. Tidak meminta-minta pada siapa pun. Rumah Pelangi sangat mandiri sekali. Mereka membentuknya sebagai keluarga, siapa pun yang datang dan ingat Rumah Pelangi adalah keluarga besar dari Rumah Pelangi.
Suasana di Rumah Pelangi sangat indah, di mana Rumah Pelangi dihiasi dengan sawah terbentang dan langit luas. Indah sekali. Rumah Pelangi sangat menyatu dengan alam. Udara segar dan sejuk membuat saya betah berlama-lama berada di sana. Sambil ngobrol asik saling berbagi ilmu yang bermanfaat. Keluarga pelangi sangat ramah sehingga membuat saya hanyut dalam suasana.
Sampai saat ini pun saya belum bisa move on dari Rumah Pelangi, Rumah Pelangi sangat berkesan dalam perjalanan kehidupan saya. Terima kasih Rumah Pelangi, sudah mengajarkan saya tentang arti hidup. Selamat untuk penggagas Rumah Pelangi, selamat untuk para sukarelawan. Anda berhasil memberi nafas baru bagi Bekasi, terlebih untuk dunia pendidikan.
Mari kita saling bergenggam tangan, kita bangkitkan dunia literasi di Bekasi.
Hormat saya,
Suryani
#SalamLiterasi