Rumah Pelangi, bukan tempat terbaik yang pernah ada, bukan bangunan mewah yang serba wah.. bukan berada di tengah pusat perbelanjaan, atau terperangkap di antara mewahnya mol-mol di tengah kota besar. Bangunan ala kadarnya, bangunan yang memang tidak tercipta dari seorang desainer terkemuka, bangunan yang hampir sebagian tergerus jaman, bangunan tua yang sulit meremaja, bangunan biasa yang malah pernah diasingkan warga.
“Kaget?” iya saya kaget, saya kaget melihatnya, saya kaget secara menyeluruh mengetahuinya, saya kaget betapa tidak mungkin tersimpan di ujung hingar-bingar kota, saya kaget jika kenyataanya tidak sebagus dongeng-dongeng.
“Apa yang ada di sana?” bukan segerombol manusia berdasi, bukan para orang tua yang senang timbun-menimbun materi, bukan para penggiat dan penggelut duniawi, tidak ada mereka di sana. Insyaallah.
Anak-anak kecil berlarian ke sana-ke mari, ada yang membuat kelompok kemudian merebahkan diri di antara kerpet tipis, ada yang sibuk mencoret-coret dinding, buku, bahkan apapun yang bisa mereka coret.
“Berisik?” sangat berisik, bahkan bisa meleibihi berisiknya pasar atau tempat umum lainnya, dan memang begitu adanya.
“Siapa mereka?” anak bangsa yang diterlantarkan kepedulian negara, tapi tidak semua, hanya sebagian, hanya beberapa. Membawa semangat dari kepungan tekhnologi, membawa semangat dari peradaban yang semakin mengasingkan kaum pribumi, membawa semangat untuk peduli, membawa semangat untuk berprestasi.
Bukan sang pemimpi yang enggan bangun, tapi si pemimpi yang bangun untuk merealisasi. Bukan sang peminta yang hanya berdo’a, tapi hamba yang berusaha dengan landasan baik sebaiknya do’a.
“Bisakah?” bisa saja, pasti bisa, mereka hidup dengan keyakinan, dengan kakak-kakak yang terlahir dari beragam ilham, dengan segala bentuk keikhlasan, dari cinta kasih tanpa kata “tapi”. Semangat yang terkumpul dari kebersamaan, keserasian hidup dan keharmonian, mereka dikepung kepedulian tanpa pengasihan, mereka bukan si pengemis yang meminta jatah hidup, tapi yang butuh pemberdayaan, makhluk-makhluk kecil yang bersinergi lewat kebebasan.
“Bergunakah?”, memang tidak bisa menghasilkan pundi-pundi materi, tidak bisa menjelaskan apa itu gaji, tapi bangunan itu, lebih dari kata berguna untuk mereka. “RUMAH PELANGI” sudah sangat mewakili warna-warna indah tentang dunia, tentang cara berlaku adil pada sesama, tentang bagaimana hak-hak usia belia tidak lagi dijajah egoisnya para orang tua. Dokrin-dokrin yang dipaksa untuk mengiyakan pintar prestasi, nominal-nominal angka peringkat dan sebagainya. Mereka akan tumbuh layaknya pohon yang berasal dari pelosok dunia, tidak dikenal namun manfaatnya tidak akan cukup hanya dengan kata berguna.
“Berjanji?” meraka yang hidup disanah tidak diajarkan berjanji, tapi diajari cara berbuat, bekerja dan melakukan, tanpa banyak alasan untuk dipercayakan. Kau akan bingung, kau pun akan berpikir ratusan kali bagaimana bisa, tapi memang begitu adanya. Bisa saja kau ambil kesimpulan dari rentetan cerita ini hanya kebohongan, bisa saja tulisan-tulisan ini di matamu tidak lebih hanya mencari simpatik atau dianggap. Cobalah sesekali main ke sana, memang jauh, tapi tidak akan jauh, Tuhan bersamamu ketika kebaikan melangkahkan kaki itu.
“Fakta?” ada, banyak sekali, bahkan lebih jika kau pikir matematikamu sudah sangat sempurna memperhitungkan berapa hal-hal yang indah di sana. Kau akan terkejut jika sudah sampai di sana, bukan hanya jejeran kebanggaan, warna-warna indah akan nampak dengan sangat sempurna tatkala kau sudah mulai memahami bagaimana cara melihatnya. Tenang, kau akan diajari perlahan, bisikan saja niat atas kebaikan.
“Butuh?” masih sangat butuh, tapi bukan si miskin, masih sangat mengharap tapi bukan si pengemis. Jangan kaget jika logika bisa saja kau salahkan ketika berada di tenga mereka, di tengah kakak-kakak mereka, dan di tengah penduduk di antara mereka. Kau tidak akan pernah bisa menjamah pandangan Tuhan terhadapnya, pun apa-apa dengannya selain kebaikan yang membuat hatimu bergetar. Memang jauh, waktumu bisa kau gadaikan diperjalanan, kesibukanmu dan urusanmu tantang dunia, bisa saja terbengkalai lantaran tempat ini, tapi mungkin memang begitulah, dan aku pun seperti itu awalnya.
Datanglah, tapi jangan berharap lebih selain tujuanmu memberi kami sebagian dari titipan Tuhan.
Penulis : Muhamad Yasin
Relawan Rungi, hamba Allah yang sedang berkoreksi.