Ada Mimpi di Rumah Pelangi
Kebahagiaan tidak diukur dari seberapa banyak harta yang kita punya, tetapi seberapa sering kita menjadi bermanfaat untuk orang lain
(Siti Sahauni)
Makna dari Berbagi
Setelah menempuh perjalanan 6 jam di dalam ular besi, akhirnya kedua kaki ini menginjakkan di sebuah kota yang terkenal dengan julukan industrinya. Aku mulai merasakan denyut kehidupan di kota besar ini. Terlihat dari arus lalu lintas di depan pintu masuk dan keluar Stasiun Bekasi. Kendaraan roda dua dan empat begitu padat merayap. Bunyi klakson saling bersahutan. Bahkan bau aspal jalanan juga asap knalpot kendaraan langsung menusuk hidungku. Meskipun begitu, aku merasakan sedang menghirup udara kebebasan.
Ah, rasanya memang sudah lama aku tidak melakukan perjalanan ini. Setelah disibukkan dengan berbagai aktivitas sebagai seorang pendidik. Sejak itulah waktuku untuk menyalurkan hobi tersita. Dan nazar yang kubuat pada acara World Book Day di Rumah Dunia pada seorang teman baru mengembalikan hasrat itu.
“Aku boleh memberikan pelatihan teater pada anak-anak binaan kakang,” selorohku suatu hari pada lelaki yang kutaksir usianya tidak jauh berbeda denganku. Meskipun usianya tidak jauh berbeda denganku. Namun pergolakan batin dan jiwanya di bidang literasi yang kuat berubah menjadi seperti magnet. Naluri spirit relawan yang telah terbentuk di Rumah Dunia diam-diam menelusuk dan ingin segera tertunaikan.
“Boleh banget, teh” timpal Idin cepat tanpa ragu, binar wajahnya dipenuhi semangat. “anak-anak Rumah Pelangi pasti akan sangat senang sekali mendapatkan pelatihan ini.” Lanjut lelaki yang menjadi tonggak kelahiran Rumah Pelangi sambil tersenyum simpul.
Melihat semangat penggagas Rumah Pelangi, aku jadi teringat dengan kata-kata yang pernah tercetus beberapa waktu lalu. Ya, sebelum pulang dari pengabdian aku pernah bersitekad untuk melakukan perjalanan. Tidak hanya sekadar perjalanan namun membagikan sedikit pengetahuan tentang teater yang pernah saya peroleh dari komunitas Rumah Dunia sejak tahun 2002 hingga 2015. Dan pelatihan teater ini kuberikan dengan cuma-cuma.
Kukencangkan ransel di pundakku yang sedikit mengendur. Langkah kakiku terhenti saat terdengar sesuatu dari salah satu bagian dalam tubuhku. Sontak kedua kakiku membimbing untuk mencari pusat perbelanjaan. Rasanya mengganjal perut sambil dibarengi dengan rehat sebentar adalah pilihan terbaik ketimbang melanjutkan perjalanan ini. Begitu pikirku.
“Oke mari kita lanjutkan perjalanan ini,” Kataku menyemangati diri sendiri saat melihat layar ponsel telah menunjukkan pukul 13.10 WIB. Aku bergegas menyeberang kembali ke tempat asal mula. Aku pasang mata ke kanan kiri jalan raya mencari angkutan umum bertuliskan angka 09 di depan dan belakang jendelanya. Angkutan umum ini yang akan mengantarkanku ke Babelan. Dari petunjuk yang diberikan aku harus turun di Warung Ayu dengan waktu tempuh 40 menit. Sebelum akhirnya tiba di Rumah Pelangi.
Di bawah rindang pohon tak cukup besar yang berjejer di bahu jalan stasiun aku menanti kedatangan angkutan umum berwarna merah bata. Rupanya pohon yang menghalangi sinar matahari tidak dapat mengurangi teriknya. Keringat dalam tubuhku terus berjejal keluar. Jari jemariku lekas menyeka keringat yang mengalir di pelipis beberapa kali. Tak berapa lama kemudian, angkutan umum yang ditunggu pun datang. Angkutan umum itu menepi, dan memintaku untuk segera masuk ke dalam.
Jalan utama stasiun Bekasi kian padat, laju kendaraan yang lalu lalang tidak boleh seenaknya sendiri menggunakan jalanan apalagi berhenti lama-lama mencari penumpang, yang ada mereka akan kena semprot oleh kendaraan lainnya.
Kendaraan roda empat yang kutumpangi pelan-pelan membawaku menjauh dari pusat keramaian stasiun Bekasi. Aku sengaja memilih duduk di pintu masuk agar keanginan dan tidak susah ketika hendak keluar. Setelah merasa nyaman dengan posisi duduk, kubiarkan kedua mata ini beredar. Lalu mataku tertumbuk pada seorang ibu yang tengah duduk dan memerhatikanku. Aku melempar senyum simpul, si ibu balas tersenyum padaku.
“Neng mau kemana tadi?” Tanya supir angkot membuyarkan perhatianku.
“Ya, pak. Tanya apa tadi?” Aku balik bertanya sambil memasang wajah tak berdosa.
“Neng tadi mau turun dimana?” Supir angkot mengulang pertanyaanya dengan sabar.
“Saya mau turun di Warung Ayu, pak.”
“Saya nggak bisa nganter ke sana neng, tapi nanti saya kasih tahu naik angkot yang mana. Depan lagi yak nanti naik angkotnya,” papar supir angkot tanpa segan sekalipun pada saya. Saya mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Dalam hati aku mengucap syukur. Karena niat baikku disambut oleh perantara-Nya melalui pertolongan-pertolongan kecil sebagai bentuk perhatian padaku.
Mimpi Anak-anak Rungi
Aku tiba di Rumah Pelangi sekitar pukul 14.20 WIB dengan berjuta perasaan. Ada yang menarik perhatianku sejak pertama kali tiba melakukan perjalanan ke Kampung Babakan Desa Sukamekar, Bekasi. Dua kali cukup besar membentang dan memanjang di depan dan belakang kendaraan yang sedang membawaku. Dan jalanan yang sedang dilalui oleh kendaraan roda duaku tepat berada di tengah. Sehingga dua kali tersebut mengapit Kampung Babakan dengan kampung lainnya.
Ada pemandangan yang tidak biasa saat melewati kali di depanku dari kejauhan. Aku lekas memotret pemandangan itu meski rasa prihatin diam-diam menyelinap dalam hati juga pikiranku. Bagaimana tidak pikiran negatif ini datang, sekalipun alasan lelaki yang sedang menaikkan kendaraan roda duanya ke atas perahu lebih realistis, yakni untuk mengurangi waktu tempuh ketimbang harus memutari kali Bekasi. Tetapi ini taruhannya nyawa. Terlebih perahu yang digunakan hanya dibantu dengan alat manual dari seutas tali tambang. Duh gusti.
Aku segera menyingkirkan pikiran negatif yang mengisi kepalaku. Sambil meyakinkan diri bahwa hidup juga mati manusia sudah ada yang mengaturnya. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha selebihnya pasrah pada kuasaNya.
Aku mengembalikan pokok perbincangan mengenai kegiatan di Rumah Pelangi yang sempat tertunda pada lelaki di depanku. Lelaki itu kembali menceritakan kegiatan yang dilakukan di komunitasnya. Yang menurutnya memang butuh banyak pemerhati dari berbagai kalangan agar semangat perjuangan sebagai pegiat literasi di daerah tidak meredup.
“Rumah Pelangi baru seumur jagung. Jadi butuh banyak asupan gizi agar tetap hidup dan tumbuh besar seperti yang dilakukan oleh komunitas teteh,” Papar lelaki yang bekerja di Jakarta ini. Sepanjang perjalanan aku menghabiskan waktu hingga sampai di Rumah Pelangi dengan banyak membahas tentang literasi. Dan aku menjadi produk dari seseorang yang melek literasi.
“Di Rumah Pelangi menanamkan budaya membaca lewat mendongeng. Kegiatannya memang tidak setiap hari dilakukan. Hanya sesekali waktu saja. Ini karena pegiatnya tidak selalu stand by di tempat. Tetapi, keberadaan Rumah Pelangi di Kampung Babakan sejak 2016 lalu telah menciptakan napas baru terutama bagi anak-anak sekitar. Kini, mereka seperti menemukan sesuatu yang begitu berharga. Sesuatu yang disebut-sebut sebagai pengikis keresahan akan sebuah masa depan. Masa depan anak-anak di Rumah Pelangi berawal dari sebuah mimpi.” Ungkap lelaki itu lagi yang dikenal dengan panggilan Bisot.
Mimpi. Ya, aku pun pernah mengalaminya beberapa waktu silam. Aku adalah satu dari banyak anak-anak di Rumah Dunia yang dibangunkan dan diarahkan untuk mengikuti cahaya bernama mimpi itu. Dan kini mimpi yang tidak pernah terpikirkan menjadi nyata. Semoga anak-anak di Rumah Pelangi pun menjadi apa yang mereka ingini. Paling tidak dari nobody to somebody. Kita doakan.*
Suni Ahwa
Penulis adalah Relawan Rumah Dunia Serang-Banten